Sabam Sirait – Politik di bawah 7 Presiden

“Politik itu kotor, penuh aksi manipulatif dan retorika kosong.”

Stigma ini mewarnai atmosfer perpolitikan di Indonesia. Seolah mendapat legitimasi, coba simak berbagai perbincangan di warung kopi atau café. Mulai arisan ibu-ibu hingga aksi jalanan para mahasiswa. Demonstrasi buruh atau seminar ilmiah para akademisi. Hampir bisa dipastikan: kalau berkaitan dengan politik, yang terdengar adalah sinisme bernada sarkasme.

Politik dimaknai sebagai cela ketimbang tindakan luhur. Politik dianggap arena kericuhan, dagang sapi, identik dengan perilaku tamak, licik, munafik dan tanpa prinsip. Politik dicap sebagai perilaku buruk kolektif yang secara hukum “dilembagakan dan dimaklumkan.”

Dalam buku “Profile in Courage,” John F. Kennedy menyitir ucapan Frank Kent, penulis politik, bahwa profesi politisi “is not immoral, simply nonmoral.”

Di sisi lain, meski terlanjur dianggap busuk, politik pada saat yang sama justru terus diharapkan dan semakin luas dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja, di gedung-gedung legislatif maupun kantor pemerintahan, terus kedatangan rombongan massa yang menuntut perhatian: mulai yang mengaku oposisi, kaum buruh, petani, mahasiswa, alim-ulama, guru, dan rakyat yang digusur dan masih banyak lagi.

Kenyataan memperlihatkan adanya suatu paradox yang menciptakan dugaan seakan-akan politik memiliki dua muka terpisah. Pertama: adalah sisi dimana politik terjadi begitu saja dalam rutinitas kelembagaan dan perilaku para aktornya. Inilah politik yang dianggap busuk dan tercela: politik dan representasinya yang konkret dan partikular. Kedua: politik yang diharapkan dan diidamkan, tapi tidak teraktualisasi dalam keseharian.

(lanjut ke halaman berikut)