Refleksi Diri Orangtua Dalam Mendidik Anak
Refleksi Diri Orangtua Dalam Mendidik Anak.
Engkau Membentuk Kami Dalam Kasih, Ya Tuhan!
Oleh: Pdt. Woro Indyas Tobing
“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun daripadanya.” (Mazmur 139:13-16).
Dari Mazmur 139:13-16, kita menyadari bahwa Tuhan yang membentuk dan menenun ciptaan-Nya sejak dalam kandungan. Apa yang Tuhan jadikan atas ciptaan-Nya, sungguh dahsyat dan ajaib. Tuhan melihat sejak kita bakal anak, dan dalam kitab-Nya semua tertulis hari-hari yang akan dibentuk, bahkan sebelum ada satu pun daripadanya.
Sesungguhnya, dalam hidup yang Tuhan anugerahkan, kita harus terus-menerus menyadari akan hal ini. Kesadaran yang harus dimulai dalam hidup keluarga kita, sebagai orangtua dan anak. Apa yang tertulis dalam kitab-Nya adalah rancangan Tuhan atas setiap kita. Bagaimana cara kita memahami rancangan Tuhan atas setiap kita? Di sinilah pentingnya peran orangtua dalam mendidik anak yang Tuhan percayakan.
Setiap anak dibentuk dan dijadikan oleh Tuhan atas dasar kasih yang luar biasa, sebab Allah adalah kasih. Pengalaman kasih menjadi dasar yang sangat penting dalam mendidik anak. Orangtua hadir sebagai perwujudan kasih Allah bagi anak-anak yang Tuhan percayakan. Orangtua harus benar-benar menyadari hal ini.
Hal pertama yang diajarkan oleh orangtua Israel kepada anak-anak mereka pada zamannya adalah: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” (Ulangan 6:4-9).
Betapa orangtua Israel menyadari pentingnya pengenalan akan kasih Allah dalam hidup anak-anak mereka dengan mengajarkannya berulang-ulang. Kasih Allah menjadi hal yang paling utama dalam proses pendidikan iman bagi anak-anak mereka. Bagaimana dengan kita sebagai orangtua yang hidup pada zaman sekarang? Kasih Allah kiranya menjadi refleksi kita bersama sebagai orangtua anak.
Penghayatan yang benar akan kasih Allah membuat anak-anak kita mendasari seluruh kehidupannya dalam kasih. Kasih pula yang akan terus menjadi dasar ketika anak-anak kita harus mengambil keputusan kelak menjadi apa dalam hidup anugerah Tuhan. Terlebih dalam konteks zaman sekarang. Zaman yang diwarnai dengan kekerasan, kebencian, permusuhan, dendam dan lain sebagainya yang menyatakan hidup tanpa kasih. Sungguh sangat memprihatinkan!
Penghayatan yang benar akan kasih Allah membuat anak-anak kita mendasari seluruh kehidupannya dalam kasih.
Di sinilah pentingnya pendidikan yang bersumber dari kasih Allah. Tantangan yang harus dihadapi oleh orangtua dan anak dalam konteks kekinian adalah perkembangan teknologi digital dan informasi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak kita. Kelekatan tak teratur anak-anak kita terhadap perangkat teknologi tersebut, telah menjadikan mereka “malas” bergerak dalam memperjuangkan apa yang mereka cita-citakan. Daya juang juga menurun. Mereka lebih bergairah dengan melakukan apa yang membuat mereka senang daripada keutamaan hidup. Demikian pula sikap orangtua yang memanjakan anak sebagai perwujudan kasih yang dangkal. Bahkan bisa menjadi penghalang pembentukan anak dalam kasih Allah yang sejati. Di sinilah kasih itu perlu diuji dalam proses pendidikan yang terus berjalan sepanjang hidup di sekolah kehidupan.
Menurut Antonius Agus Sulistyono dalam tulisannya di Majalah Rohani, ada tiga hal penting dalam proses pendidikan bagi anak dalam kehidupannya, yaitu: olah rasa, olah pikir, dan olah kehendak. Ketiga hal yang merupakan bingkai utama dalam proses pendidikan yang bertujuan agar anak mampu bertindak dengan dasar merasakan dan berpikir. Arah dari proses pendidikan yang demikian adalah memampukan anak untuk tidak hanya cerdas secara kognitif, melainkan juga mempunyai ‘hati’ dalam bertindak atau mengambil keputusan.
Seperti yang digemakan juga oleh Paus Fransiskus, “Hayatilah apa yang kamu pikirkan dan lakukan. Lakukanlah apa yang kamu hayati dan kamu pikirkan.” Penting sekali, mendidik anak-anak untuk selalu mengarahkan hati pada kebaikan dan kasih Allah yang telah berkarya di dalam hidupnya. Anak diajak menemukan Allah dalam perjalanan hidup dan mensyukurinya.
Gereja memperlengkapi orangtua dan anak sebagai keluarga dalam proses pendidikan yang terus berlangsung dalam hidup. Melalui kebaktian anak dan program pembinaan iman lainnya, bagaimana anak terus memperoleh pengalaman akan kasih Allah sebagaimana yang dirasakan oleh anak di tengah-tegah keluarga mereka. Keluarga sebagai wadah pendidikan iman yang pertama-tama bagi anak, mampu mencapai hasil dalam proses pendidikan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Orangtua tidak memaksakan kehendaknya sendiri dalam proses pendidikan yang berjalan, melainkan berdialog terus di dalam dan bersama Tuhan Sang Kasih untuk menghantar anak dalam pencapaiannya untuk kemuliaan Allah dengan melayani sesama dalam kasih.
Penting sekali, mendidik anak-anak untuk selalu mengarahkan hati pada kebaikan dan kasih Allah yang telah berkarya di dalam hidupnya.
Dengan demikian, proses pendidikan iman bagi anak telah menemukan keutamaannya dalam hidup yang dianugerahkan Tuhan. Salah satu karya tulisan Kahlil Gibran tentang anak, bahwa: “Orangtualah yang melahirkan, tapi bukan orangtua yang memberi anak-anak itu kehidupan. Tuhanlah yang memberikannya. Orangtua boleh memberikan kasih sayangnya kepada anak-anak, namun bukan berarti orangtua boleh memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya atas nama kasih sayang.”
Hal ini penting untuk kita sadari sebagai orangtua karena anak-anak kita mempunyai olah rasa, olah pikir dan olah kehendaknya sendiri di dalam dan bersama Tuhan Sang Penciptanya yang adalah kasih itu.
(Dimuat di Majalah Sahabat Vol.5 – Mei 2018)