Keluarga Sebagai Kelas Katekese

Oleh: Benjamin Simatupang

Perkembangan agama Kristen pada abad pertama terjadi melalui perkumpulan rumah tangga.  Pada waktu itu belum ada gedung gereja. Orang berkumpul di rumah-rumah. Kum

pulan itu disebut “jemaat di rumah.” Beberapa contoh dicatat di Roma 16:5; 1 Korintus 16:9; Kolose 4:15 dan Filemon 2.

Apa yang menjiwai kumpulan-kumpulan seperti itu? Menurut Kisah Rasul 2, ciri utamanya ada empat. Pertama: mereka merupakan ikatan persaudaraan yang saling menolong. Kedua: mereka mempelajari ajaran para rasul. Ketiga: mereka berdoa. Keempat: mereka makan bersama.  Jadi, bisa dikatakan bahwa mereka adalah persekutuan berdoa dan belajar.

Siapa yang hadir?

Selain keluarga tuan rumah, hadir pula orang-orang yang bekerja di rumah itu, para tetangga dan sanak keluarga lainnya. Tetapi intinya tentulah keluarga tuan rumah itu sendiri; berarti ada orangtua dan anak-anak mereka.

Siapa yang memimpin dan mengajar?

Tidak mungkin ratusan rumah yang tersebar di puluhan kota dan desa

dipimpin oleh para rasul yang jumlahnya hanya dua belas orang itu. Ayah dalam keluarga itulah yang memimpin! Jadi, keluarga Kristen yang mula-mula ternyata meneruskan kebiasaan keluarga Yahudi di mana sang ayah yang memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya.

Pada waktu itu belum ada kelas katekese sebagaimana yang kita kenal sekarang. Kumpulan “jemaat di rumah” itulah yang merupakan katekese.

Perlu kita ingat bahwa pada waktu itu agama Kristen baru berkembang selama beberapa puluh tahun saja. Orang-orang Kristen pada waktu itu adalah orang-orang Kristen generasi pertama. Hadir pada kumpulan itu adalah orang Kristen baru atau orang Kristen yang baru mulai tertarik pada iman Kristen. Pokok-pokok yang dipelajari adalah a-b-c-nya iman Kristen. Kumpulan ini menjadi wadah tunggal bagi orang yang belum Kristen untuk mengenal pokok-pokok dasar ajaran Kristen. Pada waktu itu belum ada kelas katekese sebagaimana yang kita kenal sekarang. Kumpulan “jemaat di rumah” itulah yang merupakan katekese.

Katekese yang terjadi di luar ikatan keluarga baru dikenal pada abad kedua. Sesuai dengan namanya,  dalam Bahasa Yunani ‘katekese’ secara harfiah berarti “meneriakkan di telinga secara terus menerus.” Katekese adalah wadah belajar yang berlangsung secara teratur, disiplin dan berkesinambungan selama jangka waktu tertentu. Katekese seperti ini diadakan untuk orang-orang bukan Yahudi yang ingin mengetahui ajaran Kristen. Lamanya dua sampai tiga tahun. Selain mempelajari Alkitab dan ajaran para rasul, masa dua sampai tiga tahun itu digunakan sebagai semacam masa pelatihan atau persiapan menempuh hidup Kristen.

“Sekolah katekese” yang pertama dibuka pada lebih kurang tahun 170 di kota Alexandria (kini: Iskandariyah, terletak di Mesir).  Pendirinya adalah Clement. Ia memilih kota Alexandria sebab pada zaman itu kota tersebut adalah kota nomor dua yang terpenting di Eropa dan Timur Tengah, setelah kota Roma. Kota Alexandria adalah pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang terkenal dengan perpustakaan dan museum. Clement mendirikan sekolah katekese itu dengan maksud memenuhi kebutuhan para cendekiawan yang berlatar belakang kebudayaan Yunani. Di sekolah itu Clement mengembangkan beberapa prinsip dan metode pendidikan agama istilah ‘En Christos Paideia’ (Pendidikan dalam Kristus).

Tetapi hendaknya jelas bagi kita bahwa sekolah-sekolah katekese itu bukan dimaksudkan untuk memberi pendidikan agama kepada anak-anak.  Sekolah-sekolah itu hanya terdapat di beberapa kota besar saja dan dimaksudkan untuk orang dewasa yang berpendidikan tinggi yang ingin mengetahui isi ajaran Kristen.

Lalu bagaimana dengan pendidikan agama untuk anak-anak? Di mana mereka belajar katekese? Katekese untuk mereka terdapat di rumah masing-masing! Gurunya adalah ayah dan ibu mereka sendiri. Kehidupan keluarga sehari-hari dijadikan kelas katekese. Kelas katekese seperti itu lebih menarik dan relevan, sebab pelajarannya bukan diberikan dengan papan tulis, melainkan dengan contoh dan praktik hidup sehari-hari.

Di sini tampak pentingnya peranan orangtua dalam pendidikan agama. Bukan gereja, melainkan keluargalah yang merupakan wadah pendidikan agama bagi anak-anak selama beberapa jam seminggu, orangtua juga lah yang membimbing pertumbuhan sepanjang hidup sehari-hari.  Oleh karena itu, pendidikan anak sebenarnya perlu dimulai dengan pendidikan bagi orangtua.

Kita melihat betapa pentingnya pendidikan bagi orang dewasa. Kalau kita mau mendidik generasi muda, kita harus mulai dengan mendidik generasi orangtua; sebab merekalah yang menjadi pendidik anak-anak mereka. Pendidikan Kristiani dimulai di rumah dan itu berarti pendidikan Kristiani perlu dimulai dari orangtua. Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh RA Kartini dalam buku: Habis Gelap Terbitlah Terang: ”Pendidikan di Indonesia haruslah dimulai dengan pendidikan diri orangtua.”

Bukan gereja, melainkan keluargalah yang merupakan wadah pendidikan agama bagi anak-anak selama beberapa jam seminggu, orangtua juga lah yang membimbing pertumbuhan sepanjang hidup sehari-hari.

Disarikan dari buku: Selamat Ribut Rukun, Dr. Andar Ismail   

(Dimuat di Majalah Sahabat Vol.5 – Mei 2018)