Anggota Keluarga Beda Agama: Wadah Allah Mewujudkan Cinta-Nya!

Oleh: Daniel Bani Winni Emma

Keluarga Kristen

Jika saudara ditanya, apa atau siapakah yang dimaksud dengan keluarga Kristen, apa jawab saudara? Dugaan saya, umumnya orang akan menjawab: keluarga Kristen tentu saja keluarga yang anggotanya memeluk agama Kristen. Jujur saja, awalnya saya juga berpikir demikian. Sejurus kemudian, pertanyaan lanjutan muncul dalam benak saya, berdasarkan apa atau siapa kita menyebut sebuah keluarga sebagai keluarga Kristen? Apakah dari agama yang dianut si Ayah? Lalu, jika si Ayah tidak beragama Kristen, apakah sebutan keluarga Kristen tak dapat berlaku? Atau dari agama yang dianut si Ibu? Pertanyaan yang sama pun berlaku: jika si ibu tak beragama Kristen, apakah sebutan keluarga Kristen tak dapat berlaku? Atau, dari agama yang dianut si Anak? Lagi-lagi, pertanyaan yang sama bisa diajukan: jika kedua orangtua si Anak bukan penganut agama Kristen, sementara si Anak adalah orang Kristen, apakah sebutan keluarga Kristen tak dapat dikenakan pada mereka? Apakah sebutan keluarga Kristen sungguh-sungguh terbatas pada keluarga yang setiap anggotanya beragama Kristen?

Pertanyaan yang terakhir ini cukup menentukan. Pasalnya, jika kita menjawab ya, lalu bagaimana dengan fakta bahwa ada keluarga-keluarga yang tidak semua anggotanya beragama Kristen? Diakui atau tidak, fakta ini sesungguhnya sudah menjadi realita sehari-hari. Di kelas katekisasi, saya menjumpai katekisan yang tidak mengisi formulir bagian orangtua dengan lengkap. Ketika saya tanya mengapa, jawabnya karena salah satu orangtuanya tidak beragama Kristen. Tetapi selama ini ia tumbuh dalam pengajaran Kristen. Keluarga besar saya contohnya. Tidak semua dari angggota keluarga besar saya adalah seorang Kristen. Banyak juga anggota keluarga besar saya yang beragama lain. Saya yakin contoh-contoh sederhana semacam ini saudara temukan juga dalam hidup sehari-hari, bahkan dalam keluarga saudara sendiri. Jika kita menjawab tidak, lalu bagaimana seharusnya kita memaknai keluarga Kristen tersebut?

Dalam rangka menjawab pertanyaan itu, saya mengajak kita untuk berkaca pada keluarga-keluarga dalam Alkitab. Salah satu ciri utama dari keluarga-keluarga dalam Alkitab adalah selalu menempatkan Allah sebagai pusat keluarga. “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1Yohanes 4:16b). Bergerak dari ciri-ciri keluarga dalam Alkitab dan berpegang pada 1 Yohanes 4, maka kita dapat mengatakan: keluarga Kristen sejatinya adalah keluarga yang selalu menempatkan kasih sebagai pusat keluarga.

Menyikapi Perbedaan Agama dalam Keluarga

Pemaknaan akan  bagaimana sesungguhnya keluarga Kristen itu menjadi sebuah kebutuhan; paling tidak karena dua alasan. Pertama, adanya realita bahwa tak semua orang Kristen tinggal dalam keluarga yang seluruh anggotanya menganut agama Kristen. Dalam gereja ada anggota jemaat yang suami/istrinya bukan orang Kristen. Ada anak/anak-anak yang menjadi orang Kristen sekalipun orangtuanya bukan Kristen. Sebaliknya, ada orangtua yang mendapati anaknya tidak lagi menjadi orang Kristen. Ada pula suami-istri yang sama-sama orang Kristen, tetapi tinggal bersama mertua yang bukan Kristen. Kedua, saya menjumpai orang-orang Kristen yang mulai berhenti merawat cinta di tengah keluarga karena adanya perbedaan agama. Suami/istri yang pasangannya bukan Kristen tak lagi mencurahkan perhatian mereka. Mertua selalu memasang muka muram dan tak senang ketika dikunjungi oleh menantunya yang berbeda agama demikian pula sebaliknya. Anak/anak-anak tak menunjukkan kesopanan dan hormat pada orangtua yang berbeda agama.

tempatkanlah kasih sebagai pusat keluarga

Kepada setiap orang yang hidup dalam realita demikian, panggilan Tuhan bergema: tempatkanlah kasih sebagai pusat keluarga. Setiap orang Kristen yang berada dalam keluarga dengan perbedaan agama juga punya panggilan untuk menyemai cinta Allah. Untuk dapat melakukan itu, setiap orang Kristen yang hidup dalam keluarga dengan perbedaan agama perlu melihat anggota keluarga yang lain dengan cara pandang Allah. Setiap anggota dalam keluarga sekalipun berbeda agamanya, perlu dilihat sebagai alamat cinta kasih Allah. Keluarga mereka pun adalah keluarga yang dicintai Allah! Oleh karena itu, setiap orang Kristen dipanggil untuk tak berhenti, bahkan makin setia merawat cinta Allah dalam keluarganya.

Justru dengan setia merawat cinta Allah dalam keluarga, kita sebagai orang Kristen sedang memberi kesaksian betapa besar cinta Allah itu. Dengan mencurahkan perhatian yang besar pada pasangan, kita sebagai suami/istri sedang bersaksi tentang kesetiaan Allah. Dengan menarik simpul senyuman yang tulus, kita sebagai orangtua/mertua sedang bersaksi tentang anugerah Allah. Dengan menunjukkan sopan santun dan hormat pada orangtua, kita sebagai anak sedang bersaksi tentang kasih Allah yang tak berbatas. Dengan berbuat demikian, kita sedang menempatkan Allah yang adalah kasih sebagai pusat dalam keluarga kita. Dengan demikian, tak ada satu keluarga pun yang tak dapat dimaknai sebagai wadah Allah mewujudkan cinta-Nya. Kiranya Allah hadir dalam keluarga kita. Kiranya kasih-Nya memenuhi rumah kita.

Justru dengan setia merawat cinta Allah dalam keluarga, kita sebagai orang Kristen sedang memberi kesaksian betapa besar cinta Allah itu.