Di manakah Kau, Allah-ku?
Di manakah Kau, Allah-ku?
Mengenang peristiwa pengeboman gereja-gereja di Surabaya
Oleh: Benjamin Simatupang
Kaget, marah, sedih luar biasa,
Air mata mengucur deras, hingga kering tak berasa.
Berkecamuk isi benakku.
Sisa-sisa duka yang masih menganga,
Takkan mampu kembalikan orang-orang tercinta.
Campur aduk gejolak hatiku.
Oh, Tuhan…mengapa Kau tegakan aku?
Prolog. Minggu, 13 Mei 2018. Seorang penatua menghampiri Pelayan Firman, Saudara Bill Mailoa, dan memberikan secarik kertas kepadanya. Lalu, Bill mengumumkan bahwa ada beberapa gereja di Surabaya yang dibom, salah satunya: Gereja Kristen Indonesia, Jl. Diponegoro.
Secepat kilat, media massa dan media sosial membombardir dengan berbagai liputan, opini, maupun komentar. Tak peduli isi opini, yang paling merasakan pedihnya adalah para korban yang masih hidup dan keluarga korban. Berpulangnya Vincentius Evan Hudojo (11 tahun) dan Nathanael Ethan Hudojo (8 tahun) amat menyita perhatian publik di Surabaya dan dunia.
Wenny Angelina, harus merelakan Evan dan Nathan buah hatinya, kembali ke pangkuan Bapa di Surga. Sekujur tubuh Wenny lemas. Wenny tak mampu merengkuh kedua putra terkasihnya saat ia harus terjatuh, dan menyaksikan Evan menghembuskan nafas terakhir. Tak jauh dari tempatnya tersungkur, Wenny mendengar suara Nathan mengerang kesakitan. Nathan tak mampu berjalan dengan kaki penuh darah. Kaki Nathan diamputasi, hingga akhirnya menyusul sang kakak ke Surga.
Gideon Yusdianto, pewawancara dari Radio FM Bahtera Yudha, Surabaya, melontarkan pertanyaan: “Andai ibu ketemu dengan pelaku bom yang membuat Evan dan Nathan tiada, berhadapan muka dengan muka, mata memandang mata, apa yang akan ibu sampaikan kepada pelaku bom tersebut?” Jawab Wenny sesuai dengan imannya: “Saya mengasihi dan mengampuni mereka. Saya teringat Bunda Maria yang juga merelakan Putera-Nya untuk mati bagi keselamatan manusia. Saya relakan kepergian Evan dan Nathan untuk misi yang mulia.”
Sebuah pertanyaan terus menggema selama berabad-abad, dibahas oleh para filsuf, teolog, bahkan kaum atheis. Bill Crowder, dalam bukunya berjudul: “Out of the Ashes – God’s Presence in Job’s Pain,” menyebutkan, bahwa dalam penderitaan, kita diperhadapkan dengan musuh yang tidak berwajah dan kejam, dan musuh itu meninggalkan kita dengan pertanyaan tak terjawab, yang bisa semakin menjauhkan kita dari Allah, ataupun mendekatkan kita kepada-Nya.
Allah Bangun Kesiangan!
Laporan para saksi mata di pengadilan Den Haag atas kekejaman kaum Serbia terhadap kaum Bosnia terdengar bagaikan kisah horor. “Hanya ada satu penjelasan bagi apa yang terjadi,” ujar seorang Bosnia kepada Philip Yancey dalam bukunya “Mengapa Engkau Meninggalkan Aku – Pertanyaan Abadi tentang Tuhan dan Penderitaan: “Allah bangun kesiangan!”
Philip Yancey menyebutkan bahwa dalam Alkitab banyak kisah para tokoh yang seruannya meragukan Allah, antara lain:
- Gideon (berkata kepada seorang malaikat): “Ah, tuanku, jika TUHAN menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami?” (Hakim-hakim 6:13)
- Ayub: “Aku berteriak: Kelaliman! Tetapi tidak ada yang menjawab. Aku berseru minta tolong, tetapi tidak ada keadilan.” (Ayub 19:7)
- Mazmur: “Terjagalah! Mengapa Engkau tidur, ya Tuhan! Bangunlah!” (Mazmur 44:24)
- Yesaya: “Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri.” (Yesaya 45:15)
- Yeremia: “Mengapakah Engkau seperti orang yang bingung, seperti pahlawan yang tidak sanggup menolong?” (Yeremia 14:9)
- Yesus: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46)
Kitab Ayub, salah satu kitab ‘tua’ di Alkitab, sering menjadi rujukan untuk urusan pertanyaan “Mengapa manusia menderita.” Kisah dari ‘zaman old’ yang berfokus kepada denominator utama dalam hidup manusia: penderitaan.
Allah yang “Nyinyir”?
Pendeta Eka Darmaputera dalam buku “Jika aku lemah, maka aku kuat – Pergumulan Iman dan Kesaksian Hidup Seorang Anak Tuhan menghadapi penyakit dan kelemahan fisik” (yang juga terinspirasi buku Philip Yancey, “Where is God when it hurts”), menyebutkan bahwa Ayub, lelaki malang yang seharusnya paling tidak pantas menderita, juga punya pertanyaan yang sama, atas penderitaan yang dialaminya. Ayub barangkali membayangkan bahwa Allah akan datang dengan kalimat menghibur dan meneguhkan, sikap-Nya yang hangat dan lembut kebapakan, serta senyum-Nya yang menyalakan kembali harapan yang meredup.
Allah benar-benar datang…“dalam badai”, begitu disebutkan di Ayub 38:1. “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku” (Ayub 38:2,3). Astaga! Ayub pasti shock! Allah ternyata membombardir dengan daftar panjang pertanyaan. Allah malah berpidato panjang lebar mengenai alam semesta: tentang matahari terbit, tentang hujan dan salju, tentang badai, tentang singa, tentang kambing hutan, tentang keledai liar, tentang burung unta (Ayub 38 – 39).
Setiap selesai menjelaskan satu pokok, Allah balik bertanya ke Ayub: “Mampukah engkau sedikit saja meniru apa yang Aku lakukan? Cukup arifkah engkau untuk memerintah dunia? Mempunyai lengan seperti lengan-Ku? Memiliki suara mengguntur seperti suara-Ku? Ayo jawab!” Kadang, seperti akun buzzer bayaran yang nyinyir di media sosial, pertanyaan Allah disertai dengan sindiran yang menohok, “Tentu engkau mengenalnya, karena ketika itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak” (Ayub 38:21).
Saat mengalami penderitaan, kata-kata saja tidaklah cukup. Firman yang menjadi manusia, sebagai bukti nyata bahwa Allah tidak meninggalkan kita. Dietrich Bonhoeffer mengatakan, “Hanya Allah yang menderitalah yang dapat menolong.” Hanya Allah yang tanpa kekuasaan, Allah yang lemah dan menderita yang bisa menyelamatkan kita. Jika Ia adalah raja yang berkuasa, bagaimana Ia bisa merasakan penderitaan kita? Tetapi justru, karena Ia adalah Allah yang menderita, maka Ia turut menderita dengan kita, Ia berbelarasa dengan kita. Tidak ada agama lain yang memiliki Allah seperti ini, yang mengidentifikasi diri dengan begitu mendalam dan penuh belas kasihan terhadap kemanusiaan, ujar Bonhoeffer.
Dari Penyebab kepada Tanggapan
Menurut Philip Yancey, setiap perikop di Perjanjian Baru yang berkenaan dengan penderitaan membelokkan penekanan dari penyebab kepada tanggapan. Meskipun kita tidak mampu memahami rencana Allah, yang mengizinkan terjadinya kejahatan dan kepedihan (pertanyaan “Mengapa?”), bagaimanapun juga kita dapat menanggapi dengan dua cara. Pertama, kita dapat menemukan makna di tengah penderitaan. Kedua, kita dapat menawarkan bantuan nyata dan praktis kepada orang-orang yang mengalami kesusahan.
Pertama, Viktor Frankl, seorang survivor yang berhasil selamat dari empat kamp konsentrasi Nazi Jerman, memutuskan bahwa pencarian makna hidup merupakan dorongan terkuat kita. Menurut Frankl, respons kita terhadap penderitaan yang tidak terelakkan merupakan salah satu cara untuk menemukan makna tersebut. “Rasa putus asa adalah penderitaan tanpa makna,” tulisnya dalam buku “Man’s search for meaning.”
Pertama, kita dapat menemukan makna di tengah penderitaan. Kedua, kita dapat menawarkan bantuan nyata dan praktis kepada orang-orang yang mengalami kesusahan.
Frankl menyatakan, “segala sesuatu dapat diambil dari seseorang, kecuali satu hal: yang penghabisan dari kebebasan manusia (the last of the human freedoms) – untuk memilih sikap dalam keadaan apapun.”
Kedua, sebagai pengikut Yesus, kita bisa menawarkan kehadiran penuh kasih dan simpati, yang boleh jadi dapat membantu membebat hati yang berduka. Sebuah universitas menyelidiki bagaimana merekrut sukarelawan dan mengetes berapa lama mereka mampu bertahan dalam kondisi dingin? Caranya: memasukkan kaki di dalam ember berisi air sedingin es. Para peneliti mengamati bahwa ketika sukarelawan tersebut ditemani seseorang, ia mampu menahan rasa dinginnya air dua kali lebih lama dibandingkan dengan mereka yang harus menjalaninya seorang diri. Kesimpulan para peneliti: seseorang yang terhubung dengan komunitas yang penuh kepedulian akan lebih cepat sembuh dan menjadi lebih baik. Musuh pemulihan seperti stres, rasa bersalah, marah, cemas, dan kesepian, bisa dikalahkan oleh komunitas yang penuh belas kasihan. Tanpa dukungan dan kasih yang bijaksana, penderitaan dapat membawa orang pada kesendirian dan keputusasaan.
Epilog. Lambat namun tanpa henti. Jadi, ketika ulah teroris menimbulkan penderitaan dan kesakitan, Allah tidak menghendaki kita menghabiskan energi untuk memusatkan konsentrasi pada upaya menjawab pertanyaan “mengapa?” Fokuskan energi kita untuk memberikan tanggapan penuh kasih dan menyembuhkan luka-luka penderitaan. Itulah sikap yang benar dan tepat. Kita perlu berpegang pada janji, bahwa Allah yang penuh penghiburan takkan meninggalkan kita. Ia terus bekerja dengan cara-Nya untuk memulihkan kembali apa yang telah dirusak oleh kejahatan.
Terry Waite mengisahkan saat ia dibebaskan setelah empat tahun menjadi sandera di Lebanon: ”Bagi saya, kekristenan tidak mengurangi penderitaan dengan cara apapun. Yang dilakukannya adalah memampukan Anda untuk menerimanya, menghadapinya, memecahkannya, dan akhirnya mengubahnya.”