Refleksi dari Kisah Yunus

Mendoakan Seteru dalam Terang Kalbu
Oleh: Benjamin Simatupang
Penyelaras Akhir: Nitya Laksmiwati

Dalam sebuah persidangan di Amerika Serikat tahun 1930, Leopold dan Loeb diadili di pengadilan atas tuduhan pembunuhan. Pengacara mereka, Clarrence Darrow, mencoba menggoyahkan kredibilitas seorang saksi dengan menanyakan: ”Anda lebih mudah percaya bahwa Yunus ditelan oleh seekor ikan besar?” Strategi Darrow akhirnya jadi bumerang. Para juri menyatakan bahwa mereka percaya kisah Yunus dan ikan besar yang menelannya. Leopold dan Loeb akhirnya dinyatakan bersalah.

Kisah Yunus merupakan kisah yang sangat terkenal dari Alkitab. Kisah ini sering dilihat sebagai gambaran kasih Tuhan akan semua bangsa di dunia. Yunus memberontak dan melarikan diri dari misi tersebut dan menuju Tarsis, arah yang bertolak belakang dari Niniwe. Toh, tangan Tuhan akhirnya menuntun Yunus kembali ke misi utamanya.

Sejatinya, kisah ini sarat makna tentang kebencian, intoleransi, rasisme, sebagaimana menyangkut misi khusus Yunus ke Niniwe. Fakta bahwa Niniwe, ibu kota bangsa Asyur yang merupakan musuh besar Israel saat itu akan dihancurkan Tuhan, adalah klimaks dari kisah Yunus tersebut.

Jumlah penduduk Niniwe saat itu sekitar 120 ribu orang. Luas wilayah Niniwe diperkirakan 96 km persegi. Luas wilayah itu kira-kira sama dengan dua kali luas Jakarta Pusat. Sedangkan jumlah penduduk Niniwe dapat dibandingkan dengan jumlah penduduk di kota Magelang tahun 2015. Itulah yang akan dihancurkan oleh Tuhan. Itulah musuh bangsa Israel.

Yunus tidak mau pergi ke Niniwe. Ia yakin bahwa kalau orang Niniwe mendengarkan pesan Tuhan dan bertobat, Tuhan tidak akan menjalankan rencana-Nya untuk menghancurkan musuh Israel ini. Dan Yunus benar. Setelah seluruh penduduk Niniwe (termasuk raja) mendengar pesan Tuhan yang disampaikan Yunus, mereka percaya dan bertobat.

Alkitab menceritakan bahwa Yunus tidak senang dengan pertobatan kota Niniwe. Walaupun Yunus patuh untuk memperdengarkan pesan Tuhan kepada kota Niniwe, di dalam hatinya Yunus masih belum menyelesaikan pemberontakannya. Yunus lebih senang jika Niniwe hancur berantakan dan ditimpa musibah besar. Rasakan akibatnya jika berani-berani melawan Israel! Mungkin itu yang dirasakan Yunus.

Akar keengganan Yunus untuk pergi ke Niniwe dan melihatnya diselamatkan, menjadi sumber kebencian yang besar pada bangsa Asyur yang mendiami Niniwe. Bangsa Asyur adalah musuh Israel! Musuh harus dibasmi. Sampai ke akar-akarnya.

Kepergian Yunus ke Niniwe ibaratnya memberangkatkan seorang Yahudi dari New York ke Berlin pada tahun 1941 Maksudnya adalah, memberikan kesempatan bagi bangsa Jerman dan partai Nazi untuk diampuni, padahal tindakan kejam yang dilakukan Nazi kepada kaum Yahudi sungguh di luar batas kemanusiaan. Ketegangan rasial sangat tinggi, kebencian meluap, dan intoleransi tak terampuni. Tapi pesan Tuhan tetap harus disampaikan! Sampai di titik ini, penulis mencoba memahami kejengkelan Yunus terhadap Tuhan.

Tak ubahnya Ahokers (pendukung Ahok) yang mendatangi markas Front Pembela Islam (FPI) dan meyampaikan bahwa apapun yang telah FPI lakukan untuk Ahok, Ahokers tetap mengasihi dan mendoakan Rizieq Shihab, pemimpin FPI. Apakah mudah?

Acap kali, kita mendapati “membentuk Niniwe” bagi kita sendiri: Lebih mudah membenci daripada mengasihi.” Mungkin orang yang menghuni Niniwe kita adalah kaum pendukung aborsi, Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT), orang dengan keyakinan politik yang berseberangan, grup etnis tertentu, ormas radikal tertentu, bahkan agama tertentu?!

Dalam konteks now, membicarakan ucapan kebencian, intoleransi dan rasisme merupakan topik hangat. Sebagai contoh: Pidato resmi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang menyebutkan “pribumi.” Belum pupus dari ingatan kita, bagaimana Ahok dicaci dan dipenjara sebagai penista agama. Ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang dibatalkan karena dianggap pemurtadan, tempat ibadah Islam yang dibakar di Tolikara, dan berbagai perda syariah di Indonesia, adalah kekinian yang kita hadapi bersama sebagai umat Kristen dalam berbangsa.

Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: Apakah prasangka kita terhadap “para penghuni Niniwe kita” akan membuat kita tetap mengupayakan perdamaian dengan mereka? Apakah kita tetap mendoakan “para penghuni Niniwe kita” agar Tuhan memberikan hikmat Roh Kudus, sebagaimana diri kita masing-masing? Atau kita tetap diam, dan bahkan mendoakan kecelakaan “para penghuni Niniwe kita”?

“Apakah yang membuat orang Kristen berbeda dari orang lain?,”, begitu Dietrich Boenhoffer menulis dari balik terali penjara. Pertanyaan retoris itu dijawabnya sendiri: ”Yang membedakan adalah gaya hidupnya. Gaya hidup seperti khotbah Yesus di bukit, gaya hidup seorang murid, terang yang menyinari dunia, kota yang terletak di puncak bukit, gaya hidup penyangkalan diri, kasih yang menyeluruh, kepolosan, ketulusan dan kelemahlembutan yang total. Gaya hidup kasih yang tanpa syarat kepada musuh-musuh kita, baik yang tidak mengasihi maupun yang tak layak dikasihi, kasih bagi lawan-lawan agama, lawan-lawan politik, dan lawan-lawan pribadi kita. Ia adalah kasih yang terwujud pada salib Kristus.”

Maukah kita seperti Yunus, memberi kesempatan bagi para seteru kita untuk mengenal Yesus dan kasihnya agar dapat diselamatkan? Sanggupkah kita terus berjuang dalam kelemahan kita, dan tak henti memohon kuasa Roh Kudus agar kita dimampukan? Inilah tugas kita bersama untuk mengerjakan keselamatan.


(Dimuat di Majalah Sahabat Vol.3 November 2017)