Persahabatan Dalam Keluarga

Oleh: Tohom Tumpal Marison Pardede

Penyelaras Akhir: Nitya Laksmiwati

Persahabatan adalah penangkal yang ampuh untuk semua malapetaka
(Seneca)

Sahabat dan Saudara
Kata persahabatan berarti persaudaraan atau perhubungan selaku sahabat. Kata sahabat berarti kawan, teman, handai (KBBI, 1995, hlm. 860). Jadi jika seseorang dikatakan bersahabat dengan yang lainnya, maka mereka dapat disebut juga bersaudara. Semangat ini apa yang disampaikan dalam Amsal 17: 17, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” dan Amsal 18: 24, “…tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara.” Dalam dua ayat tersebut, jelas disebutkan bahwa sahabat dapat menjadi saudara, bahkan lebih akrab dari seorang saudara. Sementara memahami keluarga, berarti memahami relasi antarsaudara bahkan lebih. Sebab apa dikatakan saudara dalam keluarga, pertama-tama adalah adanya relasi antaranak, adik kakak, sulung bungsu, lalu ada juga yang disebut sebagai saudara sepupu, yang pasti ada pertalian keluarga, ada juga apa yang disebut saudara belahan yaitu orang-orang yang senenek moyang (KBBI, 1995, hlm. 883).

Memahami lebih dalam kata “saudara”, ada baiknya kita mengenal istilah tersebut dalam tradisi Perjanjian Baru. Pada dirinya kata ‘saudara’ sudah mengandung makna sosial. Kata yang digunakan dalam teks Yunani adalah kata avdelfo,j . Kata ‘adelphos’ semula merupakan istilah yang berhubungan dengan pertalian keluarga. Kata ‘adelphos’ dibentuk dari kata ‘delphis’ yang artinya rahim dengan kata sambung ‘a’ dan artinya menjadi satu kelahiran dari rahim yang sama. Ini semula ditujukan untuk saudara laki-laki dan kata ‘adelphe’ untuk saudara perempuan. Dalam literatur Yunani, kata ini digunakan untuk menjelaskan saudara laki-laki secara fisik atau hubungan yang sangat dekat dan kiasan untuk persahabatan, pertemanan. Kata ini juga diterapkan untuk menunjuk keanggotaan sebuah komunitas atau kelompok sosial. ‘Adelphos’ berarti keturunan atau anak cucu dari rahim ibu yang sama. Arti yang lebih luas adalah anggota dari keluarga, suku bangsa dan bangsa yang sama. Sementara itu arti kiasannya adalah pribadi-pribadi yang mempunyai relasi secara spiritual oleh karena iman kepada Yesus Kristus.

Mengerti pemahaman saudara yang demikian mengarahkan kita pada kedalaman dan keluasan arti persahabatan dan persaudaraan dalam keluarga. Siapapun dan apapun sebutan yang berhubungan dengan keluarga pastinya mereka adalah saudara, mereka adalah sahabat. Suami – isteri adalah sahabat, orangtua – anak adalah sahabat, kakak – adik adalah sahabat, mertua – menantu adalah sahabat, kakek – nenek – cucu adalah sahabat, besan adalah sahabat, anak – mantu – mertua adalah sahabat, paman – bibi adalah sahabat, sepupu adalah sahabat dan semua sebutan pertalian keluarga yang ada , semuanya adalah sahabat.

Bagaimana mewujudkan hal ini di tengah-tengah dunia yang menggiring dan mengiring keluarga masuk dalam kungkungan keterasingan antaranggota keluarga? Apa yang perlu diketahui dan dilakukan agar setiap keluarga tidak terjebak dengan giringan itu? Yang butuh dilakukan adalah semata-mata menumbuhkembangkan keluarga itu sendiri untuk mewujudkan panggilan Tuhan. Sebab begitu banyak orang tidak menyadari atau tidak membutuhkan pengetahuan dan pengalaman bertumbuh dalam keluarga sebagai sahabat. Banyak orang sudah merasa yakin bahwa relasi antar anggota keluarga itu terjadi sedemikian rupa. Tidak perlulah hal itu. “Keluarga kami baik-baik saja kok, tidak ada masalah dengan keluargaku. Kami sebagai suami – isteri baik-baik saja kok, demikian juga dengan anak-anak kami.” Sekalipun masih ada yang menganggapnya demikian, tetap saja persahabatan dalam keluarga perlu dibangun, semata-mata bukan karena itu kebutuhannya, tetapi karena itu panggilan-Nya dan karena kita adalah keluarga Allah di dalam Yesus Kristus. Fakta menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang tidak menghadirkan persahabatan bagi keluarganya sendiri.

Akibat Hidup Sendiri

Lalu bagaimana menghadirkan persahabatan dalam keluarga? Hal apa saja yang diketahui dan dipahami untuk mencapai hal tersebut.? Sebelum mencapai hal tersebut, marilah kita ketahui apa akibatnya bila hidup sendiri. Pertama-tama kita bahwa hidup seorang diri, hidup sendiri itu, terasa sunyi, sepi dan nyeri. Tepatnya tidak baik. Ini yang disampaikan TUHAN dalam Kejadian 2: 18, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.” Seorang diri bukan hanya melambangkan kesunyian dan kesepian, tetapi juga kelemahan dan ketiadaberdayaan bahkan kedinginan dan kekakuan. Pengkhotbah menuliskan: “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, …. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya! Juga kalau orang tidur berdua, mereka menjadi panas, tetapi bagaimana seorang saja dapat menjadi panas? Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.” (4: 9- 12). “No man is an island (tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri)”, kata filsuf John Donne.

Kedua, bahwa hidup dalam kesendirian itu mengenaskan, mengerikan, teralienasi dan menderita. Kesepian itu bersumber pada keterpisahannya dari orang lain. Perasaan terasing yang kita alami dalam kehidupan bersama orang lain. Mungkin kita pernah merasa begitu terasing dengan seseorang, sehingga kita tidak merasakan adanya hubungan sedikit pun dengannya.
Ketiga, seorang diri mengandung dan melahirkan sikap egosentris. Sikap ini seringkali membuat kita mudah curiga pada orang lain. Kemampuan kita untuk mempercayai orang lain dengan tulus dan ikhlas, dirongrong oleh semacam kecemasan dasar. Kita merasa sepi dan mudah terluka oleh dunia yang kejam ini. Oleh sebab itu, kita merasa perlu membangun semacam benteng pertahanan diri. Kita mulai curiga dan bersikap hati-hati pada orang lain di sekitar kita; sementara kuda-kuda senantiasa kita pasang untuk menjaga jangan sampai orang lain menyerupai lawan daripada kawan.

Persahabatan Dibutuhkan dan Menjadi Sahabat

Apa yang terjadi jika kita terjerumus ke dalamnya? Apa yang terjadi jika hal itu memasuki keluarga Saudara atau komunitas Saudara? Agar kita tidak terjerumus kepada 3 hal tersebut, maka dibutuhkan persaudaraan dan persahabatan. Filsuf Francis Bacon mengatakan: “Persahabatan menggandakan sukacita dan memangkas kesedihan setengahnya.” Sahabat membuat hal yang biasa menjadi sangat menyenangkan, meredakan rasa sakit kita, memperingan beban hidup kita. Sahabat juga memperkuat kita, memperhatikan kita, dan membantu kita bertumbuh, bahkan menyelamatkan hidup kita. Sahabat membantu kita mencegah depresi, meningkatkan sistem kekebalan tubuh kita, merendahkan kolesterol kita, meningkatkan kemampuan untuk bertahan dari penyakit jantung, dan mengendalikan hormon stres, bahkan meningkatkan harapan hidup.
Sedemikian luar biasanya arti seorang sahabat, maka tidak ada pilihan lain kecuali menghidupkan semangat persahabatan di mana pun kita berada. Kita butuh dan bisa menjadi sahabat yang memberi rasa aman dan nyaman, yang tidak perlu menimbang pikiran maupun mengukur kata-kata yang diungkapkan, dicurahkan, hanya membiarkan saja mengalir, menyeruak apa adanya, apabila mencurahkan isi hati. Kita butuh dan bisa menjadi sahabat yang setia mendengarkan, memahami, menyaring dan menyimpan curahan hati tersebut dalam bungkus kepercayaan dan kejujuran.

Keluargaku adalah Sahabatku

Dalam bahasa Inggris, kata FAMILY berarti keluarga. FAMILY bisa juga merupakan akronim dari: Father And Mother I Love You (papa dan mama aku mengasihimu). Semangat persahabatan pertama-tama didasari, dan didahului dengan love: dengan cinta, kasih sayang. Dasar ini sungguh menjadi dasar relasi antara manusia dengan Tuhan dan sesama, seperti apa yang disampaikan dalam Matius 22: 37- 40 dan Lukas 10: 27, yaitu mengasihi Tuhan Allah dan sesama manusia, seperti diri sendiri. Mengasihi di sini dengan kasih yang berkualitas, kasih yang terbaik. Formula dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap kekuatan dan dengan segenap akal budi, menunjukkan kualitas kasih itu. Kasih sebagai dasar persahabatan dinyatakan juga dengan kualitas waktu (Amsal 17: 17) dan kualitas kehidupan (Yohanes 15: 13), “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Dalam setiap waktu dan memberikan nyawa ini, sangat erat sekali dalam hidup keluarga, dalam hidup suami – isteri, orangtua – anak dan kakak – beradik.
Suami isteri bahkan sejak awal mereka memutuskan untuk bersama, didasari atas cinta dan keputusan dalam kekuatan cinta dan anugerah Tuhan. Di dalam liturgi pernikahan, calon suami dan isteri mengucapkan janji, “di hadapan Allah dan Jemaat-Nya aku mengaku dan menyatakan menerima dan mengambilmu sebagai isteriku/suamiku. Sebagai suami/isteri yang beriman, aku berjanji akan memelihara hidup kudus denganmu, dan akan tetap mengasihimu pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, dan tetap memeliharamu dengan setia, sampai kematian memisahkan kita/sampai selama-lamanya. Kata sampai kematian memisahkan kita atau sampai selama-lamanya di sini menunjukkan bagaimana kualitas kasih itu.

Oleh sebab manusia memiliki kebutuhan diterima, dimiliki dan dikasihi, demikian juga dengan suami dan isteri. Sebagai sahabat mereka perlu memiliki waktu bersama; bukan hanya tidur bersama, makan bersama, jalan bersama, nonton bersama, ibadah bersama, tetapi lebih dari itu. Satu sama lain perlu mempunyai waktu dan menciptakan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan masing-masing. Entah sekali seminggu, dua minggu sekali atau mengikuti program km3 dan retret pasutri atau Week End Pasutri (WEP). Covey mengatakan bahwa waktu berdua dengan pasangan ini adalah salah satu struktur landasan keluarga terpenting.

Demikian halnya dengan persahabatan antara orangtua, ayah dan ibu dengan anak atau anak-anak. Orangtua – anak pun harus mengupayakan waktu untuk bersama. dan ini dimulai sejak anak atau anak itu masih bayi, bahkan sejak di dalam kandungan. Ada kisah selama perang dunia kedua, diidentifikasi bahwa sekelompok bayi yatim piatu mengalami penyakit yang dikenal dengan marasmus. Sekalipun mendapatkan akomodasi dan makanan yang cukup dan memadai, tetapi secara bertahap kehilangan nafsu makan, lalu beberapa anak meninggal. Setelah diteliti, ternyata anak itu tidak mengalami persahabatan. Tidak ada sentuhan, tidak ada teman, baik untuk berbicara maupun bermain. Penyembuhan penyakit marasmus ini menjadi sederhana dan cepat, dengan cara, bayi digendong selama sepuluh menit setiap jam, dipeluk, dicium, diajak bermain dan diajak berbicara, baik oleh dokter maupun perawat. Akhirnya anak-anak sembuh dari penyakit marasmus.

Kisah tersebut menunjukkan betapa penting dan berharganya kualitas waktu dan kualitas kehidupan dalam persahabatan antara orangtua dan anak. Ini menjadi tantangan bagi orangtua, sebab waktu bersama ini menjadi sebuah kebutuhan di tengah kebutuhan dan di sela kesibukan si ayah, si ibu, dan si anak sendiri. Kebersamaan dalam sebuah keluarga amatlah penting untuk pembentukan karakter dan keutuhan sebuah keluarga. Untuk itu, waktu bersama tidak dapat ditawar lagi. Covey juga menyampaikan bahwa waktu bersama yang dimaksudkan adalah waktu antara satu orangtua dan satu anak. Jika memiliki satu anak, maka waktu berdua itu ayah – anak dan ibu – anak. Jika memiliki dua anak, maka waktu berdua itu adalah ayah dengan anak pertama, ibu dengan anak pertama, ayah dengan anak kedua dan ibu dengan anak kedua; dan seterusnya tergantung jumlah anaknya. Dibutuhkan komitmen dan kerelaan dari setiap anggota keluarga untuk mewujudkannya.

(Dimuat di Majalah Sahabat Vol.1 Februari 2017)