Mengajarkan Anak Makna Mengampuni
Oleh: Lisya M. Pondaag
“Pernahkah Anda melihat atau bahkan mengalami, anak-anak kita diejek oleh temannya? Direbut atau diambil paksa mainannya? Tidak diajak bermain?” Kira-kira apa yang mereka rasakan dan apa reaksi yang timbul? Ya! Anak-anak akan merasa sedih, marah dan ingin sekali membalas. Bagaimana mengajarkan kepada mereka tentang makna pengampunan? Bagaimana memaafkan atau meminta maaf kepada orang lain?
Elizabeth B Hurlock, psikolog di bidang pertumbuhan dan perkembangan anak, mengemukakan dalam Teori Emosi, bahwa “pada dasarnya emosi seorang anak akan berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba. Jadi anak dapat melupakan kekesalan dan mengakhiri kemarahannya.” Namun, ada juga anak yang akhirnya menjadi pribadi yang mendendam. Bagaimana bisa?
Berikut kisah nyata seorang anak sejak kecil selalu dicekok dengan kekesalan dan rasa dendam oleh ibunya. Setiap hari si ibu menceritakan kebenciannya terhadap saudara-saudara ayahnya. Si ibu berpendapat bahwa saudara-saudara ayahnya telah berlaku tidak adil pada dirinya. Kisah kebencian yang sering dituturkan oleh sang ibu, tanpa disadari memengaruhi pertumbuhan emosi si anak. Emosinya menjadi tidak stabil. Ia mudah marah dan mendendam. Kondisi emosi anak tersebut sangat mengganggu prestasinya di sekolah. Ia sempat tidak naik kelas. Singkat cerita, ketika ia beranjak dewasa, bekerja dan menikah, suatu ketika ia mengalami persoalan berat dalam pekerjaannya yang mengakibatkan ia terpaksa kehilangan pekerjaan.
“Children Learn What They Live” – anak-anak belajar dari kehidupannya. Belajar dari apa yang ia lihat, ia rasakan, ia dengarkan.
What’s next? Ibarat bom waktu, kemarahan dan kekesalan bertumpuk. Dapat meledak setiap saat bila ia tak dapat mengendalikan emosi dengan baik. Ia tidak dapat lagi membendung kemarahan. Ia tidak saja sulit memaafkan orang lain, ia pun sulit memaafkan dirinya sendiri. Kisah nyata itu berakhir pilu: ia mengalami depresi. Tidak dapat lagi bekerja dan memerlukan perawatan intensif.
Kisah ini menjadi cerminan dan pengingat bagi kita sebagai orangtua, agar bijak dan berhati-hati dalam memberikan teladan. Kita ingin anak-anak menjadi pribadi yang pemaaf dan penuh cinta kasih. Apa daya kita sering gagal memberikan teladan itu. Mengajarkan anak untuk bisa memaafkan dengan ikhlas dan tulus hati harus dimulai dengan menunjukkan teladan kita mengampuni anak yang berbuat kesalahan. Memang, kita belum ideal dalam memberi teladan mengampuni karena kita pun masih berjuang dalam mengampuni.
Ketiga, belajar dari dua kisah Yesus di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kekuatan dalam mengampuni adalah cinta kasih. Berikanlah teladan cinta kasih dalam diri anak-anak kita, maka ia akan mengimplementasikan dalam hidupnya. Dorothy Law Nolte seorang pendidik, berkata: “Children Learn What They Live” – anak-anak belajar dari kehidupannya. Belajar dari apa yang ia lihat, ia rasakan, ia dengarkan. Pertanyaannya: Sudahkah kita memberi teladan pada diri anak-anak kita, khususnya dalam hal memaafkan kepada sesama teman-temannya? Sudahkah kita mewujudnyatakan bahwa kita bisa mengampuni anak-anak dan sesama kita dengan penuh kasih? Tuhan memampukan kita!
(Dimuat di Majalah Sahabat Vol.2 Mei 2017)
You must be logged in to post a comment.