Esau dan Yakub

Oleh: Fransiska Muda
Penyelaras Akhir: Nitya Laksmiwati

“Mengampuni tidak semata-mata melupakan kepahitan yang dirasakan. Mengampuni merupakan bentuk kejujuran dalam keterbukaan untuk saling menerima rasa pahit dan berusaha menciptakan harmoni baru di hati dalam sebuah relasi yang lebih indah.”

Ada yang berpendapat bahwa mengampuni itu berarti melupakan peristiwa menyakitkan yang dialami, kemudian menerima dan berdamai dengannya. That’s it. Semudah itukah? Sedangkan paku yang pernah tertancap dan dicabut dari dinding atau balok kayu akan meninggalkan bekas lubang. Demikian pula perkataan atau perbuatan yang telah ditorehkan, mampu menciptakan luka menganga nan menyakitkan.

Masih ingat kisah si saudara kembar Esau dan Yakub?, Mereka memerlukan 2 dekade untuk akhirnya dapat saling mengampuni dan melakukan rekonsiliasi. Sungguh, bukanlah waktu singkat dan perjalanan mudah demi sebuah pengampunan. Ada emosi yang terus bergolak; antara kecewa dan marah dan dendam, bahkan rindu dan kasih. Gejolak batin yang dirasakan dua saudara kembar ini, memuncak ketika Yakub berhasil melakukan manipulasi dan tipu daya terhadap kakak dan ayahnya.

Saat Esau datang dari padang dengan rasa lelah dan lapar, Esau tergiur aroma lezat bubur kacang merah yang sedang dimasak Yakub. Esau sungguh menginginkan masakan Yakub. Peluang ini dimanfaatkan Yakub untuk bertransaksi dengan kakaknya: Yakub mau memberikan masakannya itu, asalkan Esau bersedia menjual hak kesulungannya. Esau pun setuju. Esau menganggap hak kesulungan tak ada gunanya. Yakub sukses membuat kakaknya bersumpah untuk menjual hak kesulungan kepadanya (Kejadian 25:29-34).

Peristiwa berikutnya, Yakub menjalankan strategi dengan tipu daya yang telah disiapkan Ribka, ibunya. Yakub menyamar sebagai Esau dan menyajikan masakan daging yang lezat kegemaran sang Ayah. Walau awalnya penuh keraguan, Ishak akhirnya memberkati dan memberikan hak kesulungan kepada Yakub yang dengan mulus memalsukan identitasnya sebagai Esau. Saat mengetahui bahwa adiknya telah memanipulasi dan melakukan tipu daya, bergeloralah kemarahan di dalam hati Esau. Esau sampai ingin membunuh Yakub, adik kembarnya itu. Sekalipun Esau membeberkan hal yang sebenarnya kepada ayahnya, berkat dan hak kesulungan itu tidak dapat ia terima. Sungguh pedih dan pilu hati Esau. Rasa dendam pun tumbuh subur dalam diri Esau, sehingga Yakub harus melarikan diri dan hidup terpisah jauh dari keluarganya.

Seiring waktu berlalu, Alkitab mencatat pertemuan yang terjadi antara Esau dan Yakub pasca episode kelam 20 tahun sebelumnya. Serangkaian proses yang dilalui dua saudara kembar tersebut tidaklah mudah.

Pertama, Yakub ingat kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap kakaknya, dan ia mengaku kepada Allah bahwa ia ketakutan untuk bertemu dengan Esau, katanya: “lepaskanlah kiranya aku dari tangan kakakku, dari tangan Esau, sebab aku takut kepadanya, jangan-jangan ia datang membunuh aku, juga ibu-ibu dengan anak-anaknya.” (Kejadian 32:11)

Kedua, Yakub berinisiatif untuk berusaha menjalin relasi yang baik dengan kakaknya sebelum pertemuan itu terjadi. Yakub mengirimkan utusannya terlebih dahulu membawa persembahan untuk Esau. Sekalipun hal ini terkesan untuk mengambil hati kakaknya, tetapi ada niat Yakub untuk berupaya meminta belas kasihan kakaknya (Kejadian 32:3-21).

Ketiga, Yakub berjuang mengelola kegundahan hatinya akan apa yang terjadi padanya dan juga keluarganya saat bertemu dengan Esau. Ia harus melewati pergolakan batin melalui pergulatannya dengan Allah di tepi sungai Yabok untuk mendapatkan berkat sebelum Allah pergi meninggalkannya. (Kejadian 32:26) Harapan akan penyertaan melalui berkat dari Allah itu diperoleh Yakub untuk siap bertemu dengan saudaranya.

Keempat, diperlukan sikap rendah hati untuk menundukkan kepala sujud hingga ke tanah sampai tujuh kali. Ini merupakan bentuk penyesalan dan permohonan belas kasihan dari saudaranya (Kejadian 33:3)

Kelima, bukan keegoisan, bukan pula kekerasan hati melainkan ketulusan dan kejujuran untuk menerima semua peristiwa yang telah terjadi antara keduanya. Hal ini ditunjukkan oleh Esau: “Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka.” (Kejadian 33:4)

Keenam, Esau dan Yakub saling mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan menunjukkan keterbukaan, kasih sayang, dan kepercayaan di antara keduanya (Kejadian 33:8-16).

Berani memperbaiki hubungan yang sempat rusak, membawa Esau dan Yakub pada tahap untuk dapat saling menerima. Bukan melupakan kejadian yang pernah mencengkeram hidup mereka, tetapi berupaya menyadari, menyesali, mengakui dan mengampuni. Mengampuni tidak semata-mata melupakan kepahitan yang dirasakan. Mengampuni merupakan bentuk kejujuran dalam keterbukaan untuk saling menerima rasa pahit dan berusaha menciptakan harmoni baru di hati dalam sebuah relasi yang lebih indah.

Bagi kita yang saat ini menyimpan kegeraman, amarah, kekecewaan atau kepahitan, mari berjuang untuk melewati proses yang penuh pergumulan dengan meminta pertolongan Roh Kudus. Kita harus bisa memberikan hati yang mau berdamai dengan luka yang dialami, memberikan keberanian untuk meminta pengampunan dan mengampuni sesama. Dengan demikian, mengampuni bukanlah suatu tindakan pasif yang dirasakan diri sendiri. Mengampuni adalah tindakan aktif yang melibatkan Allah dan pihak yang berkonflik untuk berproses bersama untuk meraih kedamaian.

(Dimuat di Majalah Sahabat Vol.2 Mei 2017)