Emang Gampang, Mengampuni?
Oleh: Benjamin Simatupang
Penyelaras Akhir: Nitya Laksmiwati
”Mengampuni tidaklah sulit, tetapi pergumulan yang sesungguhnya terjadi ketika kita harus terus- menerus mengampuni pelanggaran yang sama, setiap kali kita teringat pelanggaran itu”
C.S. Lewis
Krisis terbesar yang pernah dihadapi bangsa Indonesia adalah perubahan kepemimpinan dari Presiden RI ke-1 Soekarno ke Presiden RI ke-2 Soeharto. Bermula dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), pada tahun 1965. Mengapa? Salah satunya: jumlah korban jiwa berkisar 500 ribu hingga 3 juta jiwa. Mencengangkan!
Dalam krisis ini, sesama saudara sebangsa saling membunuh, dan dipisahkan secara paksa. Pembedaan pun dilakukan antara yang dianggap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya, dengan pihak yang kontra PKI. Pihak yang ‘diuntungkan’ adalah yang kontra PKI. Sampai saat ini stigma “PKI” sering ditujukan kepada pihak yang amoral, kejam, anti-Pancasila, dan harus dibasmi dari bumi Indonesia. Bersyukurlah bila tidak ada saudara pun kerabat yang terbunuh dalam periode gelap tersebut, walau dampak-dampak yang tak nampak ke permukaan cukup banyak.
Sebut saja peristiwa yang menimpa Batara N. Simatupang dan 10 mahasiswa Indonesia lainnya. Saat itu mereka sedang menimba ilmu di Polandia. Tanpa alasan jelas, Kedutaan Besar RI di Warsawa, Polandia, mencabut paspor mereka pada 4 Oktober 1966. Dalam surat keputusan resminya, pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa Batara dan ke-10 rekannya tersebut: ”Telah menunjukkan iktikad tidak baik dan tidak memenuhi kewajiban untuk mengikuti screening.”
Beberapa hari sebelumnya, Kedutaan Besar Indonesia di Polandia menginstruksikan para mahasiswa Indonesia untuk mengikuti proses screening yang dilaksanakan oleh sebuah panitia khusus. Mereka yang tak hadir langsung dicabut paspornya. Praktis, ke-11 mahasiswa tersebut tidak punya kewarganegaraan alias stateless. Akhirnya Batara berhasil memperoleh dowod tosamosci (semacam KTP pengganti) di Polandia yang berlaku hingga tahun 1971, dan tidak bisa diperpanjang.
Sekeluarnya dari Polandia, Batara mencari suaka politik di Jerman Barat dengan statusnya sebagai stateless refugee (pengungsi tanpa kewarganegaraan). Sambil menunggu keputusan permohonan suaka, Batara melakukan berbagai pekerjaan kasar, termasuk sebagai tukang pasang atap perumahan (padahal ia phobia ketinggian). Beruntung, Batara diterima di Belanda dan melanjutkan studi hingga berhasil meraih gelar Doktor di bidang Ekonomi dari Universitas Amsterdam, Belanda pada tahun 1991. Batara pun memutuskan untuk menjadi warga negara Belanda sampai sekarang.
Kisah lain dialami oleh Mayor Ir. J. Gultom (almarhum). Ia dipecat dari jabatannya. Saat itu almarhum bekerja di pabrik senjata Angkatan Darat di Bandung. Entah apa sebabnya dan tak jelas kesalahannya, Gultom ditempatkan di dalam tahanan militer selama bertahun-tahun, tanpa diadili. Tuduhan yang ditimpakan adalah: Gultom dianggap “tidak bersih.”
Lain pula nasib yang menimpa Sobron Aidit. Adik kandung D.N. Aidit, ketua Partai Komunis Indonesia, harus hidup dalam pelarian dan keterpisahannya dengan istri dan anak-anaknya. Setiap kali Sobron mengucapkan “Doa Bapa Kami” – pada bagian pengampunan, seperti ada yang tercekat di kerongkongannya. “Sepertinya saya berbohong saat mengucapkannya. Bagaimana saya mampu mengampuni orang yang sudah membunuh keluarga, teman dan sahabat saya…bahkan ratusan ribu hingga jutaan jiwa lainnya!”
Emil Salim, kolega karib Batara pernah berucap: “Di tahun 1966, pendulum politik berbalik menuju serba antikomunis, antisosialis. Kita terbenam menjadi bangsa serba anti.” Dalam situasi tersebut, Batara menjadi korban dan menderita batin. Namun tak ada emosi atau kebencian yang meluap. Mengeluh pun tidak. Ia jalani kerja fisik yang berat di Jerman Barat. Tak sekedar untuk “bisa makan”, tetapi sebagai upaya terapi menyembuhkan kepedihan batinnya karena diperlakukan sebagai “manusia tanpa tanah air.”
Batara, Gultom (almarhum), dan Sobron hanyalah segelintir contoh anak Tuhan yang diganjar dengan berbagai cobaan dan ujian. Apakah beliau-beliau sudah mengampuni orang-orang yang membuat hidup mereka menderita lahir dan batin? Mengampuni bukanlah keputusan yang dibuat sekali saja. Hanya dengan pertolongan Tuhan, kita dapat mencegah sebuah penderitaan batin akibat pelanggaran yang dilakukan orang lain itu kembali menyakiti kita.
Mengampuni perlu dilakukan agar hidup kita menjadi tak terluka dan tak tersakiti. Tapi jika orang Kristen membalas setiap pelanggaran yang diterimanya dengan pembalasan kepada si pelaku, maka apa bedanya seseorang menjadi pengikut Kristus dan bukan pengikut Kristus?
“An eye for an eye makes the whole world blind,” (mata diganti mata hanya akan membuat dunia menjadi buta), demikian kata Gandhi.
Sementara, Paus Fransiskus dalam pidatonya tentang “Keluarga” menuturkan: “Pengampunan adalah penting untuk kesehatan emosional kita dan kelangsungan hidup spiritual. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sebuah teater konflik dan benteng keluhan. Tanpa pengampunan keluarga menjadi sakit. Pengampunan adalah sterilisasi jiwa, penjernihan pikiran dan pembebasan hati. Siapa pun yang tidak memaafkan tidak memiliki ketenangan jiwa dan persekutuan dengan Allah. Rasa sakit adalah racun yang meracuni dan membunuh. Mempertahankan luka hati adalah tindakan merusak diri sendiri.
Jadi, daripada mempermasalahkan apakah orang lain sudah memberikan ampunannya atau belum, mari kita telisik ke dalam batin kita. Apakah saya sudah memberi ampunan kepada oran lain? Mengampuni memang tidak mudah….tapi siapa bilang hidup sebagai orang Kristen mudah?
(Dimuat di Majalah Sahabat Vol.2 Mei 2017)
You must be logged in to post a comment.